Rabu, 21 Agustus 2013

Mulok-Memahami bahasa Palembang


Negeri kita ini adalah negeri yang kaya. Salah satunya adalah kaya akan ragam bahasa berdasarkan daerah atau provinsi yang ada, bahkan mempunyai ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah bahasa Palembang-sumatera selatan.
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).
Bahasa Palembang terdiri dari dua tingkatan, pertama merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir oleh setiap orang di kota ini atau disebut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus (Bebaso) yang digunakan oleh kalangan terbatas, (Bahasa resmi Kesultanan). Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua. Seperti dipakai oleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.
Berikut contoh bahasa Palembang Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B:Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
Bahasa Indonesia : Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?
P: O, idak jao, parak ruma aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok Cek Awang.
Bahasa Indonesia : O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak Awang.
Demikian tadi contoh bahasa Palembang pasaran dan bebaso, dari contoh tersebut terlihat ada kemiripan dengan bahasa jawa. Kemiripan bahasa Palembang dengan bahasa Jawa memang mempunyai sejarah tersendiri.
Sejarah bahasa palembang: Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama RAJA SULAN yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama ALIM dan MUFTI, Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti.
Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang. Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar DEMANG LEBAR DAUN hingga tujuh turun lebih.
Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar RAJA BUNGSU. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/BRAWIJAYA sampai tujuh turun pula. Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama ARIA DAMAR atau ARIA DILAH dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya, Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama RADEN FATAH atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.
Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa.Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang. Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki. Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki, Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati Ing Suro/Ki. Gede Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan (1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652), Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur (1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), dst.
Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negara Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.
Dari sejarah di atas jelas bahwa kemiripan bahasa Palembang dengan bahasa Jawa terjadi karena adanya hubungan masa lalu antara kerajaan di Palembang dengan kerajaan di Jawa. Sebelumnya tulisan ini sekedar untuk mengetahui asal mula dan sejarah bahasa Palembang bukan untuk menganalisa secara mendetail berdasarkan gaya bahasa tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar