Sriwijaya
adalah sebuah negara maritim yang mempunyai hubungan perdagangan internasional.
Para pedagang dari berbagai bangsa, seperti Cina, anak benua India (Gujarat, Urdu-Pakistan, dan Tamil), Sri Lanka,
dan Campa datang ke Sriwijaya. Bukan tidak mungkin terjadi perkawinan campur
antara para pedagang asing tersebut dengan penduduk asli Sriwijaya. Hal ini
dapat kita simpulkan dari berita I-Tsing yang menyebutkan banyaknya kapal asing
yang datang ke Sriwijaya. Para pelaut ini
tinggal beberapa lama di Sriwijaya menunggu datangnya pergantian angin yang
akan membawa mereka berlayar menuju tempat tujuan. Jelaslah bahwa transportasi
laut dan Sungai Musi di Palembang sangat membantu Sriwijaya dalam mengembangkan
pertumbuhan ekonominya.
Dengan
kenyataan ini, masyarakat Sriwijaya diperkirakan sangat majemuk. Mereka juga
telah mengenal pembagian (stratifikasi) sosial walaupun tidak begitu tegas. Hal
ini bisa kita lihat dari beberapa istilah dalam Prasasti Kota Kapur yang
menunjukkan kedudukan para bangsawan terdiri dari para putera raja dan kerabat
istana. Adanya istilah yuwaraja (putra mahkota), pratiyuwaraja (putra
raja kedua), dan rajakuman (putra raja ketiga) menunjukkan hal
itu. Ditemukan juga istilah-istilah yang berkaitan dengan pekerjaan atau
jabatan tertentu seperti jabatan nahkoda kapal yang disebut puhavam ataupuhawan, bupati,
dan senopati. Prasasti Kota Kapur juga menggambarkan adanya
kelompok masyarakat yang memiliki profesi tertentu sebagai tenaga kerja,
seperti saudagar, tukang cuci, juru tulis, pembuat pisau, dan budak-belian yang
dipekerjakan oleh raja.
Sebagai
negara maritim, diyakini bahwa perdagangan merupakan bidang andalan Sriwijaya.
Hal ini bisa dilihat dari letak geografisnya yang berada di tengah-tengah jalur
perdagangan antara India
dan Cina. Apalagi setelah Selat Malaka berhasil dikuasai Sriwijaya, banyak
kapal asing yang singgah di pelabuhan ini untuk menambah perbekalan (nasi,
daging, air minum), beristirahat, dan melakukan perdagangan. Untuk mengontrol
aktifitas perdagangan di Selat Malaka, penguasa Sriwijaya membangun sebuah
bandar di Ligor (Malaysia).
Hal ini diketahui dari Prasasti Ligor yang bertahun 775 M.
Alat batu penggiling (peninggalan budaya megalitikum zaman
prasejarah) serpihan emas yang digunakan pada abad ke- 7 pada masa Sriwijaya;
terlihat bahwa profesi pendulang emas telah ada pada masa itu
Pengiriman
hadiah dari pedagang dan upeti dari raja-raja taklukan kepada raja Sriwijaya
merupakan ketentuan hukum. Sriwijaya sebagai tuan rumah sekaligus negara niaga
dan maritim, yang sering dikunjungi oleh pedagang asing maka Sriwijaya berhak
menentukan jumlah atau harga pajak yang harus dipatuhi oleh para pedagang
bersangkutan. Selain perdagangan, rakyat Sriwijaya mengandalkan pertanian. Hal
ini bisa kita simpulkan dari tulisan Abu Zaid Hasan, pelaut Persia, yang mendapat keterangan
dari seorang pedagang Arab bernama Sulaiman. Abu Zaid Hasan menceritakan
bahwa Zabaq (Sriwijaya) memiliki tanah yang subur dan wilayah
kekuasaan yang luas hingga ke seberang lautan. Dengan tanah yang subur,
Sriwijaya kemungkinan memiliki hasil pertanian yang cukup diminati para
pedagang asing. Apalagi wilayah Sriwijaya demikian luas hingga mencapai ke
pedalaman Sumatera dan Jawa. Sementara itu, masalah penguasaan tanah pada masa
Sriwijaya dapat dilihat dari Prasasti Kedukan Bukit yang membahas taman
Sriksetra. Diduga, masalah kepemilikan tanah ini sepenuhnya hak raja. Kehidupan
ekonomi dan sosial Kerajaan Melayu tak jauh berbeda dengan Sriwijaya. Kaum
bangsawannya memeluk Buddha, masyarakatnya sebagian besar memeluk keyakinan
tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar